BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran memerintahkan manusia untuk
mempelajari dan memahaminya,
melalui
pentunjuk-petunjuknya yang tersurat maupun tersirat. Ayat al-Qur’an
tidaklah
memadai bila seseorang hanya mampu membaca dan melantunkan dengan baik, tetapi
lebih pada kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui
prinsip-prinsip yang dikandungnya. Sebagai bentuk realisasi upaya memahami
makna teks agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan telah melahirkan banyak
pendekatan dan metodologi, seperti tahlili, maudlû`i, muqâran,
dan berkembang sesuai dengan perkembangan metodologi serta pendekatan
kontemporer, salah satu diantaranya adalah fenomenologi dan hermeneutika.
Hermeneutik dapat didefinisikan
secara longgar sebagai suatu teori atau
filsafat
interpretasi makna.Pemahaman penafsiran terhadap teks tidak hanya menjadi
perhatian ilmupengetahuan, tetapi jelas merupakan bagian dari seluruh
pengalaman manusia tentang dunia. Dalam memahami tradisi tidak hanya memahami
teks-teks, tetapi wawasan juga harus diperoleh dan kebenaran-kebenaran harus
diakui. Dihadapan ilmu pengetahuan modern yang mempunyai posisi dominan dalam
penjelasan danpembenaran terhadap konsep pengetahuan.
Dalam kaitan dengan studi agama,
makna istilah fenomenologi tidak pernah terbakukan secara tegas. Oleh karena
itu, kita mesti memulai dengan kehati-hatian dalam upaya menentukan
faktor-faktor yang termuat dalam pendekatan fenomenologis dalam pendekatan agama.
Meski demikian, bila dibandingkan dengan disiplin-disiplin dan pendekatan lain
yang memberi pemahaman tentan subyek (agama) kepada kita, pendekatan
fenomenologi berperan dengan cara yang khas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan fenomenologi dan hermeneutika
?
2. Bagaimanakah fungsi dan tujuan pendekatan
fenomenologi dan hermeneutika?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pendekatan Fenomenologi
a. Pengertian
pendekatan fenomenologi
Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma
yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama.Fenomen (phenom) berarti obyek atau apa yang diamati, Fenomena
(phenomena) merupakan hal-hal (fakta atau peristiwa) yang dapat diamati oleh
pancaindera. Sedangkan fenomenologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mempelajari
fenomen.
Fenomenologi agama adalah Ilmu yang mempelajari
agama sebagai suatu fakta atau peristiwa yang dapat diamati secara obyektif
dengan menggunakan analisa deskriftif. Jadi, pendekatan fenomenologi
adalah pendekatan agama dengan cara
membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam
agama.
Sejak zaman Edmund Husserl, arti fenomenologi
telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir. Sebagai sebuah aliran
filsafat, Edmund Hussrel dianggap sebagai pendirinya. Dalam konteks studi
agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan
agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena
yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan, mengumpulkan dan
mempelajarinya per kelompok.
b. Tugas,
Tujuan dan obyek pendekatan fenomenologi
Ada tiga
tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yatu: pertama, mencari
hakikat ketuhanan. Kedua, menjelaskan teori wahyu. Ketiga,meneliti tingkah laku
keagamaan.
Tujuan dari fenomologi:
v Mengungkapkan atau
mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk
kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.
v Memahami pemikiran, tingkah laku,
dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat,
teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam. Karena pada
dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya
masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata
agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.
Objek kajian dalam memahami Islam dengan
menggunakan pendekatan fenomenologis adalah seluruh apa yang terdapat di alam.
c. Karakteristik
pendekatan fenomenologi
Fenomenologi agama
muncul di luar perdebatan itu, namun berangkat dari evaluasi atas ansenden
(pendekatan yang telah mendahuluinya), dan berusaha menetapkan kerangka kerja
metodologisnya sendiri dalam studi agama dalam kaitannya sebagai pendekatan
alternatif terhadap subjek agama. Meski demikian, kita mesti berhati-hati
terhadap kecenderungan mengganggap fenomenologi sama sekali berbeda dari
disiplin-disiplin lain. Keadaanya lebih kompleks dan tidak stabil.
Sarjana-sarjana awal dengan tekun memanfaatkan pandangan-pandangan pemikir dari
displin-disiplin yang berbeda hingga sampai pada kesimpulan mereka sendiri.
Beberapa
figur historis utama dalam tradisi fenomenologis :
1.
Van der Leeuw
Dia mendasarkan
pada berbagai disiplin, terentang mulai filsafat dan psikologi hingga
antropologi, sejarah dan teologi dalam mempertautkan antara agama dan seni.
Hasilnya, pendekatannya merupakan pendekatan yang kompleks dan luar biasa luas
namun mudah dipahami. Dia menuliskan “terdapat kesadaran yang terus berkembang
bahwa realitas itu sangat kaya dan sangat banyak yang menyisakan sedikit sekali haapan bahwa
kita mungkin akan dapat menginterprestasikan realitas semata-mata melalui
prinsip dan metode tunggal”.
2.
Pierre Daniel
Chantepie de La Saussaye
Perhatian
utamanya adalah klasifikasi agama secara sistematik dan memperkenalkan suatu
metodologi yang sesuai. Dialah yang pertama memahami fenomenologi sebagai
disiplin ilmiah.
3.
Nathan Soderblom
dan William Brede Kristensen
Menurutnya agama
yang sesungguhnya dapat eksis tanpa
suatu konsep pasti tentang ketuhanan, namun tidak ada agama sejati tanpa suatu
pembedaan antara yang suci (holy) dan yang profan. Sedangkan Kristensen melihat
fenomenologi agama sebagai pelengkap pendekatan historis dan filosofis, namun
dalam memahaminya Kristensen memilikitujuan yang berbeda. Menurutnya, tugas
fenomenologis adalah melakukan pengelompokan secara sistematik tentang
karakteristik data untuk menggambarkan watak keagamaan manusia.
Karakteristik
Dasar Pendekatan Fenomenologi
Ita
dapat membagi fenomenolog kedalam dua kategori. Pertama, terdapat fenomenolog
yang perhatiannya melaksanakan suatu kajian agama “deskriptif”. Tujuan mereka
mengukuhkan pengetahuan tentang berbagai ekspresi fenomena.
Karakteristik pendekatan fenomenologi
ditemukan dalam batas-batas itu dan setiap sarjana menetapkan karyanya dalam
kaitan dengan persoalan itu. Ini memberi pemahaman kepada kita bahwa tidak ada
definisi fenomenologi secara baku. Pilihan yang terbaik adalah mengakui bahwa
gagasan mengenai studi agama secara fenomenologis sesungguhnya merupakan upaya
menjustifikasi studi agama berdasar istilah yang dimilikinya sendiri dari pada
berdasar sudut pandang teolog atau ilmuan sosial.
d. Kelebihan dan kekurangan
Kekurangan dan kelebihan pendekatan fenomenologi :
v Kelebihan fenomenologi yaitu suatu penganut agama
memahami dan mencari hakikat agama lain.
v Namun fenomenologi juga masih terperangkap dalam
konsep paradigma. Husserl ketika membicarakan tentang "sumber terakhir
dari segala pemahaman," ia berkata : sumber itu bernama moi-meme(saya
sendiri).
v Fenomenologi menganggap kesadaran sebagai pusat
kenyataan, dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari imajinasi sebagai
muatan realisme.
2. Pendekatan Hermeneutika
a.
Pengertian pendekatan hermeneutika
Istilah
hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein,
yang berarti menafsirkan. Card Breaten lalu mendefinisikan hermeneutika
sebagai ilmu yang merefleksikan tenteng sesuatu kata atau event yang ada pada
masa lalu untuk dapat dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna dalam
konteks kekinian. Jadi hermeneutika berusaha menafsirkan teks atau event di
masa lalu yang masih abstrak ke dalam ungkapan yang dapat dipahami manusia.
b. Fungsi Hermeneutika
v Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks
v Membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks
kitab suci.
v Memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan
hukum.
Sebagaimana fungsi dari hermeneutika yaitu untuk
mempermudah pemahaman teks kitab suci maka begitu pula ketika kita akan
memhahami ayat-ayat dalam Al-Qur’an
Dua
langkah mengoperasionalkan metode hermeneutika :
v Berpegang
teguh pada prinsip umum kandungan Al-Qur’an
v mempertimbangkan
latar belakang masalah turunnya Al-Qur’an.
Kedua hal ini merupakan batasan dan
arahan dalam menggunakan metode hemeneutika dalam memahami ayat Al-Qur’an agar
tidak terjadi penyelewengan dan pembiasan makna yang pada akhirnya akan
menyesatkan manusia.
c. Hakikat Hermeneutika
v Rasionalisasi atas teks-teks yang dianggap masih
remang-remang dan bahkan penuh dengan mitos atau jauh dari kenyataan atau
bahkan bertentangan dengan akal sehat
v Pembagian teks pada dua dimensi, makna literal dan
spirit teks.
v Dekonstruksi otoritas yang terdapat dalam teks, baik
otoritas bermakna pengaruhnya dalam
masyarakat, atau nilai keilahian teks tersebut
v hermeneutika menuntut penafsir untuk kembali merujuk
pada masa awal teks tersebut tertulis demi mengetahui ruang lingkup yang
mengitari pembentukan teks.
d.
Faktor
pendekatan hermeneutika
Ada
dua faktor utama yang termasuk dalam problem hermeneutik pada periode nabi dan
sahabat. Pertama, faktor otoritas
Nabi. Pada masa Nabi dan sahabat, persoalan penafsiran al-Qur’an sangat terkait
dengan kenabian Muhammad. Dalam posisi ini, Muhammad tidak hanya berfungsi
menyampaikan pesan Tuhan yang berwujud al-Qur’an, namun ia juga berfungsi
sebagai penafsir yang otoritatif dengan al-hadis sebagai bentuk formalnya. Pada
masa tersebut terdapat juga beberapa penafsiran yang dilakukan Sahabat, tetapi
penafsiran tersebut segera dikembalikan kepada otoritas kenabian untuk
memperoleh validitasi dari Nabi. Dalam memahami al-Qur’an, sama sekali tidak
muncul perasaan alienasi makna sebagaimana lazimnya sebuah problem hermeneutik.
Kedua,
faktor
kesadaran umat islam saat itu yang masih kental dengan argumenargumen dogmatis
ketimbang penalaran kritis. Salah satunya terkait dengan persoalan keyakinan
teologis bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. Mereka mempercayai sakralitas al-Qur’an yang secara literal
berasal dari Allah dan karena itu membacanya merupakan suatu ibadah. Umat islam
tidak memerlukan perangkat metodologis hermeneutik dalam memahami al-Qur’an
melainkan menggunakan penafsiran literal.
Farid Esackmengatakan bahwa meskipun
istilah hermeneutika merupakan hal yang baru dalam tradisi keilmuan Islam,
tetapi praktek hermeneutika telah lama dilakukan oleh umat Islam. Praktek
hermeneutik tersebut dapat dilihat dari maraknya kegiatan interpretasi dalam
wacana keilmuan Islam dibawah payung sebuah disiplin ilmu yang dikenal dengan
nama ilmu tafsir.
Esack kemudian memperkuat
pandangannya dengan mengajukan bukti-bukti. Pertama,
problematika hermeneutik senantiasa dialami dan dikaji oleh umat Islam,
meskipun tidak ditampilkan secara definitif. Hal ini dapat dilihat dari
maraknya kajian-kajian al-Qur’an yang berhubungan dengan asbab al-nuzul dan naskh-mansukh.
Kedua, adanya perbedaan pemahaman
yang aktual terhadap al-Qur’an dan terhadap atura, teori atau metode penafsiran
yang mengaturnya sejak mulai munculnya litertur-literatur tafsir yang disusun
dalam kerangka prinsip-prinsip ilmu tafsir. Ketiga,
tafsir-tafsir tradisional yang berkembang dikalangan umat Islam selalu
dikelompokkan dalam kategori-kategori tertentu, misalnya tafsir syari’ah,
tafsir mu’tazilah dan sebagainya. Kategori-kategori tersebut menunjukkan adanya
kelompok-kelompok tertentu, idiologi-idiologi tertentu, periode-periode
tertentu dan horizon-horizon sosial tertentu yang melingkupi kegiatan
penafsiran al-Qur’an dan hal ini menandakan adanya sebuah pola hermeneutik.[1]
Sebagaimana dijelaskan leh Hasan
Hanafi, hermeneutika tidak hanya menyelami kandungan makna literal sebuah teks,
tetapi juga berusaha menggali makna yang
tersembunyi dibalik teks dengan mempertimbangkan horizon yang melingkupi teks,
pengarang dan pembaca.[2]dengan
mempertimbangkan ketiga horizon tersebut, maka hermeneutika menjadi sebuah
kegiatan ”rekonstruksi” dan “reproduksi” makna dengan cara melacak bagaimana
suatu teks dituangkan oleh pengarang, makna apa yang ingi disampaikan oleh
pengerang, dan kemudian berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai
dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca pada situasi kekinian.
Ada tiga komponen pokok
hermeneutika. Pertama, adanya tanda,
pesan berita yang kerap berbentuk teks. Kedua,
harus ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa “asing” terhadap
pesan itu. ketiga, adanya perantara
atau kurir antara kedua belah pihak. Terdapat dua aliran besar dalam
hermeneutika, yaitu hermeneutika romantik oleh Schleiermacher dan hermeneutika
fenomenologi Heidegger.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam pendekatan studi islam terdapat
pendekatan fenomenologi dan pendekatan hermeneutika. Pendekatan fenomenologi
adalah pendekatan agama dengan
cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai
macam agama. Pendekatan fenomenologi memiliki tujuan Mengungkapkan atau
mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk
kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan dan memahami pemikiran, tingkah laku,
dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat,
teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam.Sedangkan pendekatan hermeneutika adalah pendekatan yang berusaha
menafsirkan teks atau event di masa lalu yang masih abstrak ke dalam ungkapan
yang dapat dipahami manusia. Fungsi dari pendekatan hermeneutika antara lain membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan
teks, membantu mempermudah
menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci dan memberi arahan untuk masalah
yang terkait dengan hukum
DAFTAR
PUSTAKA
Dhavamony, M. 1995. Fenomenologi Agama. Jakarta : Kanisius.
Esack , Farid. 1997. Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity Against Opperation. Oxford: Oneworld.
Hanafi, Hassan. 1991. Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar