Selasa, 02 Desember 2014

Makalah Pendekatan Fenomenologi dan Hermeneutika



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Al-Quran memerintahkan manusia untuk mempelajari dan memahaminya,
melalui pentunjuk-petunjuknya yang tersurat maupun tersirat. Ayat al-Qur’an
tidaklah memadai bila seseorang hanya mampu membaca dan melantunkan dengan baik, tetapi lebih pada kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip yang dikandungnya. Sebagai bentuk realisasi upaya memahami makna teks agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan telah melahirkan banyak pendekatan dan metodologi, seperti tahlili, maudlû`i, muqâran, dan berkembang sesuai dengan perkembangan metodologi serta pendekatan kontemporer, salah satu diantaranya adalah fenomenologi dan hermeneutika.
            Hermeneutik dapat didefinisikan secara longgar sebagai suatu teori atau
filsafat interpretasi makna.Pemahaman penafsiran terhadap teks tidak hanya menjadi perhatian ilmupengetahuan, tetapi jelas merupakan bagian dari seluruh pengalaman manusia tentang dunia. Dalam memahami tradisi tidak hanya memahami teks-teks, tetapi wawasan juga harus diperoleh dan kebenaran-kebenaran harus diakui. Dihadapan ilmu pengetahuan modern yang mempunyai posisi dominan dalam penjelasan danpembenaran terhadap konsep pengetahuan.
            Dalam kaitan dengan studi agama, makna istilah fenomenologi tidak pernah terbakukan secara tegas. Oleh karena itu, kita mesti memulai dengan kehati-hatian dalam upaya menentukan faktor-faktor yang termuat dalam pendekatan fenomenologis dalam pendekatan agama. Meski demikian, bila dibandingkan dengan disiplin-disiplin dan pendekatan lain yang memberi pemahaman tentan subyek (agama) kepada kita, pendekatan fenomenologi berperan dengan cara yang khas.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan fenomenologi dan hermeneutika ?
2.      Bagaimanakah fungsi dan tujuan pendekatan fenomenologi dan hermeneutika?


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pendekatan Fenomenologi
a.      Pengertian pendekatan fenomenologi
Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.Fenomen (phenom) berarti obyek atau apa yang diamati, Fenomena (phenomena) merupakan hal-hal (fakta atau peristiwa) yang dapat diamati oleh pancaindera. Sedangkan fenomenologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mempelajari fenomen.
Fenomenologi agama adalah Ilmu yang mempelajari agama sebagai suatu fakta atau peristiwa yang dapat diamati secara obyektif dengan menggunakan analisa deskriftif. Jadi, pendekatan fenomenologi adalah  pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama.
Sejak zaman Edmund Husserl, arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir. Sebagai sebuah aliran filsafat, Edmund Hussrel dianggap sebagai pendirinya. Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok.
b.      Tugas, Tujuan dan obyek pendekatan fenomenologi
Ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yatu: pertama, mencari hakikat ketuhanan. Kedua, menjelaskan teori wahyu. Ketiga,meneliti tingkah laku keagamaan.
Tujuan dari fenomologi:
v  Mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.
v  Memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam. Karena pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.
Objek kajian dalam memahami Islam dengan menggunakan pendekatan fenomenologis adalah seluruh apa yang terdapat di alam.
c.       Karakteristik pendekatan fenomenologi
Fenomenologi agama muncul di luar perdebatan itu, namun berangkat dari evaluasi atas ansenden (pendekatan yang telah mendahuluinya), dan berusaha menetapkan kerangka kerja metodologisnya sendiri dalam studi agama dalam kaitannya sebagai pendekatan alternatif terhadap subjek agama. Meski demikian, kita mesti berhati-hati terhadap kecenderungan mengganggap fenomenologi sama sekali berbeda dari disiplin-disiplin lain. Keadaanya lebih kompleks dan tidak stabil. Sarjana-sarjana awal dengan tekun memanfaatkan pandangan-pandangan pemikir dari displin-disiplin yang berbeda hingga sampai pada kesimpulan mereka sendiri.
Beberapa figur historis utama dalam tradisi fenomenologis :
1.      Van der Leeuw
Dia mendasarkan pada berbagai disiplin, terentang mulai filsafat dan psikologi hingga antropologi, sejarah dan teologi dalam mempertautkan antara agama dan seni. Hasilnya, pendekatannya merupakan pendekatan yang kompleks dan luar biasa luas namun mudah dipahami. Dia menuliskan “terdapat kesadaran yang terus berkembang bahwa realitas itu sangat kaya dan sangat banyak  yang menyisakan sedikit sekali haapan bahwa kita mungkin akan dapat menginterprestasikan realitas semata-mata melalui prinsip dan metode tunggal”.
2.      Pierre Daniel Chantepie de La Saussaye
Perhatian utamanya adalah klasifikasi agama secara sistematik dan memperkenalkan suatu metodologi yang sesuai. Dialah yang pertama memahami fenomenologi sebagai disiplin ilmiah.
3.      Nathan Soderblom dan William Brede Kristensen
Menurutnya agama yang sesungguhnya  dapat eksis tanpa suatu konsep pasti tentang ketuhanan, namun tidak ada agama sejati tanpa suatu pembedaan antara yang suci (holy) dan yang profan. Sedangkan Kristensen melihat fenomenologi agama sebagai pelengkap pendekatan historis dan filosofis, namun dalam memahaminya Kristensen memilikitujuan yang berbeda. Menurutnya, tugas fenomenologis adalah melakukan pengelompokan secara sistematik tentang karakteristik data untuk menggambarkan watak keagamaan manusia.
Karakteristik Dasar Pendekatan Fenomenologi
Ita dapat membagi fenomenolog kedalam dua kategori. Pertama, terdapat fenomenolog yang perhatiannya melaksanakan suatu kajian agama “deskriptif”. Tujuan mereka mengukuhkan pengetahuan tentang berbagai ekspresi fenomena.
 Karakteristik pendekatan fenomenologi ditemukan dalam batas-batas itu dan setiap sarjana menetapkan karyanya dalam kaitan dengan persoalan itu. Ini memberi pemahaman kepada kita bahwa tidak ada definisi fenomenologi secara baku. Pilihan yang terbaik adalah mengakui bahwa gagasan mengenai studi agama secara fenomenologis sesungguhnya merupakan upaya menjustifikasi studi agama berdasar istilah yang dimilikinya sendiri dari pada berdasar sudut pandang teolog atau ilmuan sosial.
d.      Kelebihan dan kekurangan
Kekurangan dan kelebihan pendekatan fenomenologi :
v  Kelebihan fenomenologi yaitu suatu penganut agama memahami dan mencari hakikat agama lain.
v Namun fenomenologi juga masih terperangkap dalam konsep paradigma. Husserl ketika membicarakan tentang "sumber terakhir dari segala pemahaman," ia berkata : sumber itu bernama moi-meme(saya sendiri).
v  Fenomenologi menganggap kesadaran sebagai pusat kenyataan, dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari imajinasi sebagai muatan realisme. 

2.      Pendekatan Hermeneutika
a.      Pengertian pendekatan hermeneutika
Istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein, yang berarti menafsirkan. Card Breaten lalu mendefinisikan hermeneutika sebagai ilmu yang merefleksikan tenteng sesuatu kata atau event yang ada pada masa lalu untuk dapat dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna dalam konteks kekinian. Jadi hermeneutika berusaha menafsirkan teks atau event di masa lalu yang masih abstrak ke dalam ungkapan yang dapat dipahami manusia.
b.      Fungsi Hermeneutika
v  Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks
v  Membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci.
v  Memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum.
Sebagaimana fungsi dari hermeneutika yaitu untuk mempermudah pemahaman teks kitab suci maka begitu pula ketika kita akan memhahami ayat-ayat dalam Al-Qur’an
Dua langkah mengoperasionalkan metode hermeneutika :
v  Berpegang teguh pada prinsip umum kandungan Al-Qur’an
v  mempertimbangkan latar belakang masalah turunnya Al-Qur’an.
Kedua hal ini merupakan batasan dan arahan dalam menggunakan metode hemeneutika dalam memahami ayat Al-Qur’an agar tidak terjadi penyelewengan dan pembiasan makna yang pada akhirnya akan menyesatkan manusia.
c.  Hakikat Hermeneutika
v  Rasionalisasi atas teks-teks yang dianggap masih remang-remang dan bahkan penuh dengan mitos atau jauh dari kenyataan atau bahkan bertentangan dengan akal sehat
v  Pembagian teks pada dua dimensi, makna literal dan spirit teks.
v  Dekonstruksi otoritas yang terdapat dalam teks, baik otoritas bermakna pengaruhnya dalam  masyarakat, atau nilai keilahian teks tersebut
v  hermeneutika menuntut penafsir untuk kembali merujuk pada masa awal teks tersebut tertulis demi mengetahui ruang lingkup yang mengitari pembentukan teks.
d.     Faktor pendekatan hermeneutika
Ada dua faktor utama yang termasuk dalam problem hermeneutik pada periode nabi dan sahabat. Pertama, faktor otoritas Nabi. Pada masa Nabi dan sahabat, persoalan penafsiran al-Qur’an sangat terkait dengan kenabian Muhammad. Dalam posisi ini, Muhammad tidak hanya berfungsi menyampaikan pesan Tuhan yang berwujud al-Qur’an, namun ia juga berfungsi sebagai penafsir yang otoritatif dengan al-hadis sebagai bentuk formalnya. Pada masa tersebut terdapat juga beberapa penafsiran yang dilakukan Sahabat, tetapi penafsiran tersebut segera dikembalikan kepada otoritas kenabian untuk memperoleh validitasi dari Nabi. Dalam memahami al-Qur’an, sama sekali tidak muncul perasaan alienasi makna sebagaimana lazimnya sebuah problem hermeneutik.
            Kedua, faktor kesadaran umat islam saat itu yang masih kental dengan argumenargumen dogmatis ketimbang penalaran kritis. Salah satunya terkait dengan persoalan keyakinan teologis bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Mereka mempercayai sakralitas al-Qur’an yang secara literal berasal dari Allah dan karena itu membacanya merupakan suatu ibadah. Umat islam tidak memerlukan perangkat metodologis hermeneutik dalam memahami al-Qur’an melainkan menggunakan penafsiran literal.
            Farid Esackmengatakan bahwa meskipun istilah hermeneutika merupakan hal yang baru dalam tradisi keilmuan Islam, tetapi praktek hermeneutika telah lama dilakukan oleh umat Islam. Praktek hermeneutik tersebut dapat dilihat dari maraknya kegiatan interpretasi dalam wacana keilmuan Islam dibawah payung sebuah disiplin ilmu yang dikenal dengan nama ilmu tafsir.
            Esack kemudian memperkuat pandangannya dengan mengajukan bukti-bukti. Pertama, problematika hermeneutik senantiasa dialami dan dikaji oleh umat Islam, meskipun tidak ditampilkan secara definitif. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kajian-kajian al-Qur’an yang berhubungan dengan asbab al-nuzul dan naskh-mansukh. Kedua, adanya perbedaan pemahaman yang aktual terhadap al-Qur’an dan terhadap atura, teori atau metode penafsiran yang mengaturnya sejak mulai munculnya litertur-literatur tafsir yang disusun dalam kerangka prinsip-prinsip ilmu tafsir. Ketiga, tafsir-tafsir tradisional yang berkembang dikalangan umat Islam selalu dikelompokkan dalam kategori-kategori tertentu, misalnya tafsir syari’ah, tafsir mu’tazilah dan sebagainya. Kategori-kategori tersebut menunjukkan adanya kelompok-kelompok tertentu, idiologi-idiologi tertentu, periode-periode tertentu dan horizon-horizon sosial tertentu yang melingkupi kegiatan penafsiran al-Qur’an dan hal ini menandakan adanya sebuah pola hermeneutik.[1]
            Sebagaimana dijelaskan leh Hasan Hanafi, hermeneutika tidak hanya menyelami kandungan makna literal sebuah teks, tetapi juga berusaha menggali  makna yang tersembunyi dibalik teks dengan mempertimbangkan horizon yang melingkupi teks, pengarang dan pembaca.[2]dengan mempertimbangkan ketiga horizon tersebut, maka hermeneutika menjadi sebuah kegiatan ”rekonstruksi” dan “reproduksi” makna dengan cara melacak bagaimana suatu teks dituangkan oleh pengarang, makna apa yang ingi disampaikan oleh pengerang, dan kemudian berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca pada situasi kekinian.
            Ada tiga komponen pokok hermeneutika. Pertama, adanya tanda, pesan berita yang kerap berbentuk teks. Kedua, harus ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa “asing” terhadap pesan itu. ketiga, adanya perantara atau kurir antara kedua belah pihak. Terdapat dua aliran besar dalam hermeneutika, yaitu hermeneutika romantik oleh Schleiermacher dan hermeneutika fenomenologi Heidegger.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam pendekatan studi islam terdapat pendekatan fenomenologi dan pendekatan hermeneutika. Pendekatan fenomenologi adalah pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama. Pendekatan fenomenologi memiliki tujuan Mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan dan memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam.Sedangkan pendekatan hermeneutika adalah pendekatan yang berusaha menafsirkan teks atau event di masa lalu yang masih abstrak ke dalam ungkapan yang dapat dipahami manusia. Fungsi dari pendekatan hermeneutika antara lain membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks, membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci dan memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum


DAFTAR PUSTAKA

Darmawan,  Andy. 2005. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Dhavamony, M. 1995. Fenomenologi Agama. Jakarta : Kanisius.
Esack , Farid. 1997. Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Opperation. Oxford: Oneworld.

Hanafi, Hassan. 1991. Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus.



[1] Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Opperation(Oxford: Oneworld, 1997),hlm. 61
[2]Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm.1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar