WAHDATUL WUJUD DAN
INSAN KAMIL
Makalah ini disusun untuk Memenuhi
Tugas Kelompok
Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu: Masturiyah, M.Hum
Disusun
oleh :
1. Ima
Fahri Afifah (13670019)
2. Eden
Anisa Kusuma W (13670026)
3. Siti
Nurjanah (13670037)
4. D
Adi Prastiyo U (13670040)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014 / 2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang
mengenal Tuhan (Ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) menuju ke tingkat
tinggi, dan itu bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah), melainkan
kesatuan wujud (Wahdatul Wujud). Tasawuf falsafi juga bisa di katakan sebagi
tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran orang filsafat. Lahirnya tasawuf
falsafi ini dimulai dari asal mula pemahaman tasawuf yang bermacam-macam,
sehingga banyak yang mencari tahu untuk mengungkapkan pertama kali ajaran
tasawuf tersebut.
Berkembangnya tasawuf membuat
orang-orang sufi menyingkap arti dari tasawuf falsafi itu seperti halnya Ibnu
Al-Arabi, seorang sufi ayng berpendapat bahwa proses segala sesuatu itu berasal
dari yang satu, yaitu kesatuan eksistensial (Wihdatul Wujud). Dan begitu juaga
al-jilli yang mengemukakan konsep tentang Insan Kamil. Yang diartikan sebagai manusia sempurna.
Adapun perbandingan ataupun perbedaan dari kedua paham tersebut akan dibahas
pada makalah ini dengan rumusan masalah sebagai berikut.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan wahdatul wujud?
2.
Siapa tokoh yang membawa paham wahdahtul wujud?
3.
Apa yang dimaksud dengan insan kamil?
4.
Apa ciri-ciri dari insan kamil?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui pengertian wahdatul wujud.
2.
Untuk mengetahui tokoh yang membawa paham wahdatul wujud.
3.
Untuk mengetahui pengertian insan kamil.
4.
Untuk mengetahui ciri-ciri insan kamil.
BAB II
PEMBAHASAN
A. WAHDAH AL-WUJUD
1.
Pengertian
wahdah al-wujud
Wahdat
al-wujud adalah
ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat
dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri,
tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud
artinya ada. Dengan demikian wahdat
al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah
selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Dikalangan ulama
klasik ada yang mengartikan wadah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat
dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik
sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma
(bentuk), antara yang nampak (lahir) dan batin, antara alam dan Allah, karena
alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir
itulah yang selanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia
dan Tuhan pada hakikatya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih
lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdat
al-wujud, nasut yang ada dalam hulul
diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek
yang sebelah luar disebut khalq dan
aspek yang sebelah dalam disebut haqq. Kata-kata
khalq dan haqq ini merupakan padanan kata al-‘arad
(accident) dan al-jauhar (substance)
dan al-zahir (lahir-luar-tampak), dan
al-bathin (dalam, tidak tampak).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada
mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut al-khalq (makhluk) al-‘arad
(accident-kenyataan luar), zahir
(luar-tampak), dan aspek dalam yang disebut al-haqq
(Tuhan), al-jauhar
(substance-hakikat), dan al-bathin
(dalam). Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek
tersebut yang sebenarnya ada dan yang terpenting adalah aspek batin atau
al-haqq yang merupakan hakikat, esensi atau substansi. Sedangkan aspek
al-khalq, luar dan yang tampak merupakan bayangan yang ada karena adanya aspek
yang pertama (al-haqq).
Paham ini selanjutnya membawa kepada
timbulya paham bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang
sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya bayang
atau foto copy dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari suatu dasar pemikiran
bahwa Allah sebagai diterangkan dalam al-hulul, ingin melihat diri-Nya di luar
diri-Nya, dan oleh karena itu dijadkan-Nya alam ini. Dengan demikian alam ini
merupakan cermin bagi Allah. Pada saat Ia ingin melihat diri-Nya, Ia cukup
dengan melihat alam ini. Pada benda-benda yang ada di alam ini Tuhan dapat
melihat diri-Nya, karena pada benda-benda alam ini terdapat sifat-sifat Tuhan,
dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham ini juga mengatakan bahwa yang
ada di alam ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya satu. Hal ini tak
ubanhnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang
diletakan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya kelihatan
banyak, tetapi sebenarnya dirinya hanya satu. Tuhanlah yang sebenarnya
mempunyai wujud hakiki atau yang wajibul wujud. Sementara itu mahkluk sebagai
yang diciptakan-Nya hanya mempunyai wujud yang bergantung kepada wujud yang
berada didirinya, yaitu Tuhan.
Paham Wahdatul Wujud mengisyaratkan
bahwa pada manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada Tuhan pun ada unsur
lahir dan batin. Unsur lahir manusia adalah wujud fisiknya yang tampak,
sedangkan unsur batinnya adalah roh atau jiwanya yang tidak tampak yang hal ini
merupakan pancaran, bayangan atau foto copy Tuhan. Selanjutnya unsur lahir pada
Tuhan adalah sifat-sifat ketuhannya yang tampak di alam ini, dan unsur batinnya
adalah dzat Tuhan. Dalam wahdatul wujud ini yang terjadi adalah bersatunya
wujud batin manusia dengan wujud lahir Tuhan, atau bersatunya unsur lahut yang ada pada manusia dengan unsur
nasut yang ada pada Tuhan sebagaimana
dikemukakan dalam paham hulul. Dengan cara demikian maka paham wahdatul wujud
ini tidak mengganggu dzat Tuhan, dan dengan demikian tidak akan membawa keluar
dari Islam.
Dalam Al-Qur’an diterangkan bahwa Tuhan
memiliki unsur zahir dan batin sebagaimana dikemukakan paham wahdatul wujud
itu, dalam ayat yang berbunyi :
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang
Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Hadid, 57
: 3).
Dapat dipahami bahwa manusia sebagai
makhluk yang butuh dan fakir, sedangkan Tuhan Maha Kaya. Paham yang demikian
sesuai pula dengan isyarat ayat yang berbunyi :
Hai
manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. (QS. Fathir, 35 :15)
Dalam
Al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Departemen Agama tahun 1984, halaman 90, kata al-awwal pada surat al-Hadid ayat 3 di
atas diartikan yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, dan al-akhir ialah yang tetap ada setelah
segala sesuatu musnah. “Yang Zahir” juga artinya yang nyata adanya karena
banyak bukti-buktinya dan “Yang Batin" ialah yang tak dapat digambarkan
hakikat Zat-Nya oleh akal. Namun dalam pandangan sufi bahwa yang dimaksud
dengan yang zahir adalah sifat-sifat Allah yang tampak, sedangkan yang batin adalah
dzat-Nya. Manusia dianggap mempunyai kedua unsur tersebut karena manusia
berasal dari pancaran Tuhan, sehingga antara manusia dengan Tuhan pada
hakikatnya satu wujud.
2. Memahami doktrin wahdat al-wujud
Agar
semuanya memahami bahwa segala sesuatu yang mungkin ada (al-mumkinat-makhluk),
tidak memiliki wujud bebas, yakni tidak dapat mempertahankan eksistensinya
tanpa ada pancaran (fuyudh, emanasi) dari Allah Yang Maha abadi. Yang jelas,
segala yang ada (al-maujudat) itu, untuk memelihara eksistensinya, dalam setiap
detik, sangat memerlukan yang lain. “sesungguhnya segala yang ada (al-maujudat)
itu adalah satu, jika dilihat dari segi asal sumber dan kesempurnaan.” Wujud
selain Allah berada dalam derajat kenihilan, seperti cahaya bulan dan
bintang-bintang lainnya, seandainya berada di hadapan sinar matahari.
Berawal
dari sini, Allah menyebut zat-Nya Yang Mahaperkasa dengan masa (al-dahr),
sebagaimana dalam hadis qudsi:
“Aku disakiti oleh anak
Adam. Ia memcaci masa (al-dahr), padahal Aku adalah masa, dan pada tangan-Kulah
segala urusan. Aku membolak-balikkan malam dan siang,” (HR Bukhari).
Makna
firman Allah tersebut ialah bahwasanya masa, yakni alam semesta (al-kainat),
serta fluktuasi dan perubahannya, bukan apa-apa jika dipandang dari sudut
kesempurnaan (kamal) Allah. Segala perubahan, fluktuasi, dan peristiwa yang
nampak pada layar malam dan siang, Aku sendirilah yang mengaturnya. Segala yang
ada (al-maujudat), baik yang berjalan, yang diam, yang bergerak, maupun yang
terjangkau oleh indra malaikat, manusia dan jin kepada mereka berlaku
perintah-perintahKu menurut martabat-martabat masing-masing, serta tak dapat
terlepas sedikitpun. Aku adalah pengatur tunggal yang haqiqi di belakang layar.
Jelasnya,
masalah wahdat al-wuhjud adalah masalah penyingkapan tabir (kasifiyah).
Kedalamannya tak akan dapat terselami tanpa iman dan mujahadah (perang batin).
Dalam masalah ini mayoritas peneliti muslim sebetulnya telah melakukan
kekeliruan, mereka mengkuti metode para orientalis dan menjelaskan dengan
pemikiran filsafat. Pada kenyataannnya, masalah wahdat al-wuhjud tidak memiliki
korelasi yang signifikan dengan filsafat Platonisme atau Ghidanita Hinduisme.
Sumber
kekeliruan adalah pada para orientalis yang menyesatkan pendapat umum dan
mengembalikan permasalahan tasawuf kepada pikiran filsafat, padahal diantara
keduanya terdapat perbedaan yang besar. Masalah yang sebenarnya ialah bahwa
selama periode menjalankan sebagian tugas dzikir, khususnya selama “asyghal
al-nafy wa al-itsbat atau tugas-tugas peniadaan dan penetapan”,kepada sang
dzakir (pezikir) suka muncul kondisi spesial, menyerupai tidur, dan berlangsung
sekitar seperempat jam atau lebih, tergantung pada kuat dan lemah sang dzakir.
Kalbu
dapat memperoleh penyingkapan tabir (mukasyafah) dan penyaksian (musyahadah)
sesuai dengan ahwal atau kondisi kejiwaannya. Hal ini sulit dipahami oleh bayak
ulama, karena mereka menganalogikan muraqabah dzikirriyah (upaya senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah melalui dzikir), kondisi fana dan ishtilam dengan
kondisi bangun (tidak tidur). Kemudian mereka mengingkari bolehnya musyahadah
(penyaksian) cahaya-cahaya Allah dan tajliyyat (penampakan)Nya dalam kondisi
dzikir.
Imam
Al-Tahanuwi r.a berkata, “dalam setiap sifat ada dua derajat, yaitu sempurna
dan kurang. Kaidah mengatakan bahwa yang kurang selalu dianggap tidak ada jika
berada di hadapan wujud sempurna. Contoh seperti seorang hakim. Ia memiliki
kedudukan lemah. Ia menyelenggarakan pertemuan, dimana ia menentukan berbagai
hukum bagi orang-orang yang hadir.tinggilah kedudukannya, dan besarlah
pengaruhnya. Dalam kesukacitaan berkuasa, ia tidak memberikan atensi kepada
siapapun. Pada saat pertemuan itu berlangsung, datanglah raja dengan tiba-tiba
memasuki majlisnya. Dengan hanya melirik keagungan sang raja, lenyaplah
kecerdasannya, serta ia sadar atas kesukacitaan merasa besar dan arogansinya.
Dihadapan keagungan hadapan sang raja, sang hakim tak ada apa-apanya. Suaranya
menjadi serak dan turun dari kursi. Dalam kondisi ini, walaupun jabatannya
tidak hilang, namun menjadi seperti tidak ada.”
Maka
makna wahdah (unity,kesatuan) adalah bahwa walaupun yang lain itu ada, namun
bagi si arif (orang yang ma’rifat) tak terlihat selain wujud hakiki di hadapan
maujudat (segala yang ada) yang banyak itu, seperti tak nampaknya cahaya
kunang-kunang di siang hari di hadapan siang hari. Ringkasnya, para sufi
meyakini bahwa semua makhluk itu berada pada tempatnya masing-masing, tetapi di
hadapan wujud hakiki (Allah), wujudnya itu hilang dan menjadi seperti tidak
ada.
Kesaksian kalbu terkadang terkalahkan
oleh Zat yang dicintai dan yang diingat-ingatnya, sehingga ia melenyapkan dan
memfana’kan diri karena-Nya. Kemudian ia menduga bahwa dirinya menyatu dan
bersintesis, bahkan dalam dugaannya lebih dari itu, Dia (kekasinya) itu adalah
dirinya sendiri. Pencipta berbeda dari ciptaanNya. Dalam ciptaan-ciptaan
(makhluk)Nya tak ada sedikitpun ZatNya. Demikiian juga dalam ZatNya, tak ada
sedikitpun yang berasal dari makhlukNya.
B. TOKOH YANG MEMBAWA PAHAM WAHDATUL WUJUD
Ibnu Arabi adalah tokoh pertama penyusun
paham kesatuan wujud dalam tasawuf. Aliran ini pada dasarnya berdasar pada
tonggak-tonggak rasa (dzauq), seperti halnya terungkap dalam perkataannya,
“Mahasuci Dzat yang menciptakan segala sesuatu dan dia adalah segala sesuatu
itu sendiri”. Ungkapan terkenal para penganut kesatuan wujud, melalui ucapan
Ibnu Arabi inilah, sandaran mereka menolak tentang penciptaan dari tiada
(Greatio ex Nibilo). Mereka menolak kepercayaan bahwa pada suatu masa, alam
mengada dari ketidakadaan. Persoalan ini bagi kaum sufi yang tidak menganut
paham kesatuan wujud, terkenal sebagai masalah penciptaan alam.
Dalam
teorinya tentang wujud, Ibnu Arabi memercayai terjadinya emanasi (pelimpahan),
yakni Allah menampakkan segala sesuatu dari wujud ilmu menjadi wujud materi. Ia
menginterpretasikan wujud segala yang ada sebagai teofani abadi yang tetap
berlangsung dan tertampaknya Yang Mahabenar disetiap saat dalam bentuk yang
terhitung bilangannya.
a. Paham
kesatuan ini telah memustahilkan mengatakan hal mungkin sebagai kebalikan dari
hal yang wajib. Hal yang mungkin adalah hal yang ada, baru, dan selalu berubah.
Jika hal ini dipandang dari dirinya sendiri, sebelumnya justru hal itu tidak
ada. Istilah lain, hal yang mungkin adalah hal yang diadakan oleh hal lain yang
di dalamnya tergambarkan ada dan tiada, sekalipun hal itu dikatakan sebagai hal
yang tetap (ciptaan yang mungkin). Sebab, hal yang tetap itu diperlukan.
Pemahaman ini oleh para filosofi, disebut sebagai hal yang wajib adanya oleh
hal yang lain dan terletak diantaranya yang mungkin dan yang wajib, yang
keberadaannya memerlukan yang lain.
b. Menurut
Ibnu Arabi, terdapat dua macam tentang hal, yakni hal yang perlu dan hal yang
tidak perlu. Ia sering menggunakan logika alirannya, yaitu seandainya alam
merupakan hal yang mungkin, hal ini menunjukkan bahwa alam ini mengada pada
suatu masa serta alam bukan yang mengadakannya. Ini bertentangan dengan pernyataan
alirannya, yang menyatakan bahwa pada kenyataannya, wujud adalah satu dan
menjadi banyak hanya secara filosof. Mengenai masalah ini, Ibn Arabi
berpendapat “Lalu yang rahasia dalam persoalan ini adalah hal-hal yang mungkin,
berasal dari tiada. Dan yang ada dalam wujud Yang Mahabenar.”
c. Mengenai
penciptaan makhluk, yang terkandung dalam sebuah hadist qudsi, “Aku adalah
karunia tersembunyi yang tidak Ku-ketahui, maka Aku pun menciptakannya
(makhluk) sehingga dengannya mereka mengetahui-Ku.” Ibnu Arabi mengemukakan,
maksud Allah menciptakan semua makhluk pada umumnya dan manusia pada khususnya
adalah agar Dia bisa melihat dan mengetahui diri-Nya, dalam suatu bentuk yang
dengan hal itu tampak jelas sifat-sifat dan atau nama-nama-Nya. Dengan begitu,
Dia pun tersingkap dari karunia yang tersembunyi (Dzat Mutlak) yang bebas dari
segala hubungan dan ikatan, tetapi karunia yang terungkap dari Dzat Mutlak
tersebut, tidak dalam kemutlakan dan kebebasan itu, melainkan dalam keterikatan
serta keterbatasannya.
d. Realitas
wujud ini hakikatnya tunggal, sedangkan perbedaan antara dzat dan hal yang
mungkin, hanyalah perbedaan relatif. Perbedaan haqiqi antara keduanya adalah
akibat perbedaan yang dilakukan akal budi yang terbatas. Ibnu Arabi dalam
syairnya mengatakan, “Perpisahan dan perpaduan itu sesuatu yang tunggal atau
bangsanya jamak yang tidak menentu dan tanpa mengasal. Bahwa wujud hal yang
mungkin adalah wujud Allah semata.” Karena itu, jika dipandang esensinya hal
itu adalah Yang Mahabenar atau Tuhan dan jika dipandang dari aspek
sifat-sifatnya adalah makhluk.
e. Wujud
itu hanyalah satu, itulah wujud yang berdiri sendiri. Itulah Yang Mahabenar
(Tuhan). Alam yang banyak ini tidaklah berwujud alam sendiri, tetapi alam ini
berwujud dengan wujud Tuhan. Wujud alam ini adalah khayal, dengan pengertian
bahwa ia tampak sebagai wujud yang berdiri sendiri, padahal sebenarnya berwujud
dengan wujud Tuhan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa wujud Tuhan dan alam
adalah satu, bukan dua atau banyak.
C. PENGERTIAN INSAN
KAMIL
Ke
dalam dimensi esoterik dikalangan kaum sufi, melahirkan konsep Insan Kamil. Yang dimaksud dengan Insan Kamil ialah suatu tema yang
berhubungan dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, Tuhan. Yang
Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan
yang sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut yang ditiru manusia. Seseorang
yang makin memiripkan diri kepada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut,
makin sempurnalah dirinya. Dalam pengertian awam, insan kamil berfungsi sebagai “penguasa
alam”, dan mediator yang mendatang kansyafa`at.
Berbicara
tentang insal kamil tidak bisa melepaskan
diri dari Ibn Arabi. Dan berbicara tentang konsep Ibn Arabi tidak bisa terlepas
dari konsep wahdatul wujudnya. Dalam teorinya
ini, Insan Kamil adalah duplikasi Tuhan
(nuskhak al-Haqq). Yaitu Nur Muhammad
yang merupakan “tempat penjelmaan” (tajalli)
asma`, dan dzat Allah yang paling
meyeluruh, yang dipandang sebagai khalifah-Nya di muka bumi.
Manusia
Sempurna adalah Sebab dari Alam. Dengan cinta yang mendalam dari Yang Maha Esa untuk
dikenal dan menjadi kenyataan, maka Tuhan mewahyukan diri-Nya dalam bentuk Dunia
Fenomena. Sebagai landasan kaum sufi, khususnya Ibn Arabi ialah hadist Qudsi yang artinya: “Aku adalah pendaharaan
yang tersembunyi, Aku senang untuk diketahui maka Aku menciptakan makhluk, yang
denganya Aku dikenal”.
Al-Kamal
(kesempurnaan) menurut al-Jili mungkin dimiliki manusia secara potensial (bilquwwah), dan mungkin pula secara actual
(bilfi`li) seperti yang terdapat dalam
diri wali dan Nabi, walaupun intensitasnya berbeda-beda. Intensitas yang
tertinggi, menurut al-Jili terdapat dalam diri Nabi Muhammad. Muhammad adalah al-quthb (poros, sumbu) dari awalnya hingga
akhir, sejak adanya wujud untuk selama-lamanya (abad al-abidin), dan bahkan Muhammad dapat menjelma dalam berbagia
bentuk, yang hanya diketahui oleh ahl
al-kasyf.
Disamping
al-Jili, Nuruddinar-Raniri juga mempunyai konsep insan kamil yang intinya tidak
jauh berbeda dengan konsep para pendahulunya. Insan kamil bagi Nuruddin ialah hakikat Muhammad, merupakan hakikat pertama
yang lahir dari proses tajalli satu dzat
ke dzat yang lain (Allah dengan Nur Muhammad). Hakikat itu menghimpun seluruh kenyataan
yang ada, karena seluruh kenyataan alam ini merupakan wadah bagi Asma dan Dzat
Allah. Hanya dia yang sanggup menerima tajalli-Nya, dan dalam qalbunya tersimpan
segalarahasia-Nya dengan segala sifat jamal dan jalal-Nya,
yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
D. CIRI-CIRI INSAN
KAMIL
1.
Berfungsi akalnya secara optimal
Fungsi
akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya
manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala
perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan esensinya dan
merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu.
2.
Berfungsi intuisinya
Intuisi
dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul).
Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya,
maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.
3.
Mampu menciptakan budaya
Sebagai
bentuk pengalaman dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai
insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh
potensi rohaninya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk
berpikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat
kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi
juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup.
Proses-proses semacam ini melhirkan peradaban.
4.
Menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan
Manusia
termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Ia cenderung kepada
hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut
menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia sebagai khalifah yang
demikian itu merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan
nasibnya sendiri. Manusia yang ideal itulah yang disebut insan kamil, yaitu
manusia yang dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya dapat
mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain.
5.
Berakhak mulia
Insan
kamil adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali
Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek,
yakni aspek kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Dengan kata lain, ia memiliki
pengetahuan, etika, dan seni. Semua ini dapat dicapi dengan kesadaran,
kemerdekaan, dan kreativitas.
6.
Berjiwa seimbang
Sikap
seimbang dalam kehidupan sangat diperlukan, yaitu seimbang antara pemenuhan
kebutuhan material dengan spiritual atau ruhaniah. Ini berarti perlu ditanamkan
jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengalaman syariat Islam, terutama ibadah,
zikir, tafakkur, muhasabbah, dan seterusnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pengertian
wahdatul wujud yang digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan
Tuhan pada hakikatya adalah satu kesatuan wujud. Ibnu Arabi adalah tokoh
pertama penyusun paham kesatuan wujud dalam tasawuf. Aliran ini pada dasarnya
berdasar pada tonggak-tonggak rasa (dzauq), seperti halnya terungkap dalam
perkataannya, “Mahasuci Dzat yang menciptakan segala sesuatu dan dia adalah
segala sesuatu itu sendiri”.
Insan
Kamil ialah suatu tema yang berhubungan dengan pandangan
mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap
mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan yang sempurna. Sifat
sempurna inilah yang patut yang ditiru manusia. Seseorang yang makin memiripkan
diri kepada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, makin sempurnalah
dirinya. Ciri-ciri insan kami yaitu berfungsi
akalnya secara optimal, berfungsi intuisinya, mampu menciptakan budaya, menghiasi
diri dengan sifat-sifat ketuhanan, berakhak mulia, dan berjiwa seimbang.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamka. 1994. Tasauf
Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka panjimas.
Nata, Abuddin.
2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press.
Nata, Abbudin.
2013. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia Edisi Revisi. Jakarta:
RajaGrafindi Persada.
Rif’i, A.
Bachrun. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Syukur, M. Amin.
2002. Menggugat Tasawuf Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.